Jumat, 26 Juni 2009

3. Seni Rupa



Seni rupa wayang merupakan hasil rekayasa batin, pikir, mata dan ketrampilan tangan para penatah (ahli tatah sungging) yang diungkapkan dan mampu menciptakan bentuk tokoh wayang. Berawal dari kreasi para wali, wayang mengalami proses perubahan bentuk dari gambar-gambar wayang seperti di candi-candi hingga bentuk wayang sekarang ini. Dilihat dari segi pemilihan bahan kulit (utamanya kulit kerbau), desain, ragam dan corak wajah, anggota tubuh, pakaian, senjata serta atribut wayang lainnya serta melalui berbagai penyempurnaan untuk mempertinggi nilai seni kriya wayang. Teknik pewarnaan (sunggingan) sangat mendukung penampilan tokoh maupun ekspresi sifat dan watak yang disandang oleh sosok pelakunya. Salah satu dimensi yang sangat menentukan nilai seni kriya wayang adalah mengandalkan pada bayang-bayang (tembus pandang) sebagai hasil tatah sungging.
Seni rupa wayang sebagai abstrak-dekoratif dan abstrak-simbolis warisan seni rupa tradisional Indonesia yang dapat dibanggakan mutunya, dapat pula berperan sebagai lubuk gagasan yang tidak akan pernah kering bagi perkembangan duni seni rupa. Wayang kulit yang bentuknya telah mengalami evolusi beratus-ratus tahun itu, kini telah memperoleh perwujudannya yang paling canggih, paling kena dalam segala aspeknya dengan ikonografi (uraian tentang suatu gambaran) dan perwatakan yang dibawakannya berikut gaya stilasi serta segi-segi seni rupanya yang lain, sehingga seni tradisional ini menjadi klasik dan mencapai puncak perkembangannya. Wayang klasil betul-betul merupakan karya seni yang sempurna dan adiluhung, karena di situ dapat dijumpai adanya empat jenis tokoh: tokoh ksatria alusan, ksatria gagahan, wanita dan tokoh raksasa.
Dalam seni rupa wayang, terdapat beberapa wanda (mood, karakter atau sifat) yang menunjukkan pengejawantahan bentuk wayang. Wanda-wanda tersebut menggambarkan watak dasar, lahir batin wayang-wayang pada kondisi mental tertentu. Watak dasar tersebut dilukiskan dengan pola pada mata, hidung, mulut, warna wajah, posisi dan perbandingan ukuran, serta suaranya (yang dibawakan oleh sang dalang).



Selengkapnya...

2. Seni Karawitan

2. Seni Karawitan
Fungsi karawitan dalam pertunjukan wayang untuk mendukung suasana dalam suatu adegan. Berbagai referensi menunjukan bahwa semula karawitan pakeliran, hanya menggunakan seperangkat gamelan wayang (gadon plus) laras slendro dan tanpa sindhen . Dalam perjalanannya, secara bertahap semakin bertambah mulai dari kehadiran sindhen hingga mencapai wujudnya seperti sekarang ini. Awalnya (secara fisik) tambahan instrumen ke dalam perangkat gamelan, masih terbatas pada pemanfaatkan laras pelog dan jumlah seperti: penambahan bonang barung, bonang penerus, jumlah saron, demung, laras kempul dan kenong.
Seiring dengan perkembangan budaya, teknologi dan dinamika sosial masyarakat muncul berbagai alternatif bentuk pertunjukan wayang seperti: format pakeliran dua kelir, pakeliran padat, pakeliran kolosal, serta format pertunjukan wayang plus lawak dan penyanyi. Munculnya berbagai alternatif pertunjukan wayang itu memiliki dampak yang besar terhadap garap karawitannya, sehingga untuk memenuhi kebutuhan ungkap musikal yang semakin beragam, beberapa instrumen non gamelan dihadirkan seperti: tambur, cymbal, organ, biola, terompet, drum, bedug, terbang, ansambel musik dan sebagainya. Dalam konteks yang demikian, jika dilihat dari sisi sarana ungkap musikal telah terjadi penambahan instrumen secara spektakuler. Hampir seluruh pertunjukan wayang sekarang menggunakan salah satu instrumen tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perangkat gamelan yang digunakan dalam pertunjukan wayang sekarang diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Perangkat gamelan slendro dan pelog,
2. Perangkat gamelan slendro dan pelog ditambah instrumen non gamelan yang tidak bernada, dan
3. Perangkat gamelan slendro dan pelog ditambah instrumen non gamelan yang bernada diatonis dan instrumen non gamelan yang tidak bernada.
Secara garis besar gendhing dalam pertunjukan wayang dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok, yaitu: gendhing petalon, gendhing yang digunakan untuk keperluan mendukung suasana bangunan lakon yang dikelirkan sejak jejer samapai tancep kayon, dan gendhing-gendhing yang ditampilkan pada saat adegan limbukan dan gara-gara (gendhing selingan).
Dalam realitas pertunjukan wayang sekarang menggunakan format gendhing patalon tradisi hasil warisan dari para generasi sebelumnya. Format gendhing patalon tradisi adalah rangkaian dari beberapa bentuk gendhing yang secara musikal menyiratkan berbagai kesan rasa. Tujuan dari penyajian gendhing patalon ini untuk keperluan mengundang penonton dan sebagai wahana penjelajahan rasa musikal yang sekaligus dimanfaatkan untuk membangun suasana wayangan.
Dalam pertumbuhan dan perkembangan pertunjukan wayang sekarang, terdapat fenomena baru dalam mensikapi gendhing yang digunakan untuk keperluan pakelirannya. Banyak gendhing-gendhing konvensional yang dirasakan telah memiliki kemantapan rasa dan jumbuh dengan keperluan adegan tidak lagi digunakan pada sebagian besar pertunjukan wayang sekarang. Terdapat kecenderungan mengganti gendhing-gendhing konvensional dengan gendhing “yasan” baru pada adegan-adegan tertentu. Gendhing-gendhing “yasan” baru tersebut banyak diterapkan pada adegan: jejer, kapalan, bedhol jejer pertama, menjelang pocapan gara-gara, dan kadang pada adegan khusus yang dirasa perlu mendapat perhatian secara khusus pula.
Sebagian besar gendhing yasan’kreasi’ baru memiliki warna dan kesan musikal yang berbeda dengan gendhing-gendhing yang biasa digunakan sebelumnya. Perbedan ini desebabkan oleh beberapa faktor, yakni kompositoris, orkestrasi dan instrumentasi, stressing garap, dan sebagainya. Gendhing-gendhing wayang konvensional memiliki aturan-aturan bentuk yang baku, serta memberdayakan seluruh instrumen yang ada (kecuali sampak). Ricikan garap diberi ruang gerak yang leluasa, dan vokal bersama hanya disajikan pada bagian tertentu, serta senantiasa memiliki kualitas yang halus, mengalir, dan tidak nyeklek. Sementara gendhing yasan’kreasi’ baru, bentuk kadang dibuat tidak seketat menuruti konvensi yang ada. Sebagian besar diwarnai garap vokal bersama atau teknik koor, dan kadang memasukan teknik canonik, serta memaksimalkan garap baluangan. Dengan warna garap yang demikian peran pengrawit balungan mennjadi dominan dan secara musikal lebih berkesan ramai, semuwa, dan kadang meledak-ledak.
Pagelaran wayang sekarang banyak yang menggunakan gendhing pokok secara campuran. Maksudnya adalah memadukan antara gendhing-gendhing wayang yang telah ada dan gendhing-gendhing “yasan” baru. Gendhing-gendhing yang sudah ada (baku), dimanfaatkan untuk keperluan jejer, sedangkan gendhing “yasan” baru digunakan untuk keperluan bedhol jejer, kapalan, dan menjelang pocapan gara-gara (apabila menggunakan adegan gara-gara).
Sekarang ini gendhing-gendhing limbukan dan gara-gara dalam pertunjukan wayang menghadirkan gendhing/lagon dari berbagai aliran jenis musik, serta lagu dari daerah lain yang baru laris di pasaran. Selain itu juga ditampilkan lagu-lagu lama dalam format garap yang baru. Ketika kehidupan campursari merebak dan digemari oleh masyarakat, peluang ini ditangkap oleh sebagian besar dalang (terutama dalang muda) untuk dimasukkan dalam pertunjukannya. Hal ini dibarengi dengan penyediaan sebagian instrumen yang berorientasi pada tangga nada diatonik seperti: organ, biola, bass gitar elektrik, dan gitar rithym. Bahkan terdapat pertunjukan wayang yang melibatkan ansambel musik secara komplit, sehingga dalam sebuah pertunjukan terdapat multi ensambel. Kehadiran instrumen itu dalam perkembangannya tidak hanya secara khusus digunakan untuk keperluan penyajian lagu-lagu dangdut, keroncong, dan pop.
Di sisi lain terdapat fenomena upaya untuk menyisipkan lagu yang bernuansa agama. Lagu-lagu yang bermuatan ajaran moral ini semula hanya dilakukan oleh dalang tertentu, sekarang mulai diikuti oleh dalang-dalang yang lain. Lagu-lagu semacam ini juga mulai mendapat tempat di hati penonton. Dari aspek musikal biasanya lagu itu diaransir menggunakan instrumen-instrumen simbol keagamaan seperti terbang, rebana, dengan penonjolan garap rithme , vokal, dan dinamiknya. Kehadiran berbagai instrumen musik tersebut diupayakan untuk dipadu dengan gamelan. Langkah semacam ini diartikan sebagai langkah memadukan tangga nada pentatonik dan diatonik.




Selengkapnya...

Seni Pertunjukan


Dalam pertunjukan wayang itu peranan dalang sentral dan strategis. Disebut sentral karena seluruh pentas wayang yang menggabungkan pelbagai seni itu digerakkan dan diarahkan oleh dalang. Strategis karena sebagai tokoh sentral, kualitas seni pedalangan itu sangat ditentukan oleh kemampuan dalang. Di tangan dalang yang piawai, wayang dapat hadir secara utuh dalam merealisasikan misinya sebagai tontonan sekaligus tuntunan. Wayang dan dalang merupakan satu kesatuan. Karena itu dalam upaya melestarikan dan mengembangkan mutu dan senantiasa patuh pada kode etik yang ada yaitu Pancadarma Dalang Indonesia. Sebagai seorang profesional, seorang dalang melaksanakan tugas berdasarkan kode etik guna mewujudkan sajian seni yang berkualitas dalam setiap pentasnya. Dalang dalam mengungkapkan nilai-nilai kehidupan masyarakat melalui penggarapan unsur-unsur pakeliran tersebut.
Untuk mempersiapkan pertunjukan wayang yang baik, dipertimbangkan empat persyaratan : 1) Tempat/lokasi pertunjukan : di dalam atau di luar rumah, di halaman yang luas atau di gedung besar; 2) Kelir atau layar beserta perlengkapannya; 3) Kotak wayang berisikan wayang secukupnya, dan 4) Seperangkat gamelan beserta para penabuh dan pesindhen-nya.





Selengkapnya...

Wayang Klithik

Sebagai sarana hiburan dan penerangan terhadap masyarakat. Wayang klitik timbul pada masa berkembangnya agama Islam di Jawa sekitar abad 16 - 17. Pencipta wayang klitik adalah SUNAN KUDUS. Wayang ini disebut klitik karena mengandung arti KECIL (Klitik). Di dalam pertunjukkan ada yang mengambil cerita Mahabarata - Ramayana ada pula yang mengambil cerita Minakjinggo - Damarwulan.
Wayang klitik terbuat dari kayu pipih yang dibentuk dan disungging menyerupai Wayang Kulit Purwa. Pada Wayang Klitik, cempuritnya merupakan kelanjutan dari bahan kayu pembuatan wayangnya. Wayang ini diciptakan orang pada tahun 1648.


Pementasan Wayang Klitik juga diiringi oleh gamelan dan pesinden, tetapi tanpa menggunakan kelir sehingga penonton dapat melihat secara langsung bentuk wayang klitik, mirip pertunjukan wayang golek di tatar Sunda.



Wayang klitik banyak ditemukan di kota-kota Jawa Tengah. Seperti misalnya di Kudus, Jawa Tengah. Di sini wayang klitik masih berkembang. Wayang klitik biasa ditampilkan di hajatan perkawinan, upacara bersih desa, berbagai upacara desa lainnya. Di sini wayang klitik seakan disakralkan.

Wayang ini disebut klitik, bukan saja karena kecil ukurannya, tapi dimungkinkan karena bunyi klitik yang terjadi saat masing-masing tokoh dalam wayang ini saling beradu. Bunyi benturan terdengar dari wayang yang berbahan dasar kayu jati ini.

Di Wonosoco, sebuah desa di Kudus tadi, seluruh peralatan serta 52 buah tokoh wayang yang ada, merupakan warisan turun temurun dari pendahulunya. Tak banyak yang tahu siapa pencipta dan pembawa wayang klitik hingga sampai di Wonosoco ini. Konon, kesenian wayang klitik tumbuh seiring masuknya agama Islam di tanah Jawa, khususnya Kudus.

Tidak dipilihnya kulit sebagai bahan dasar wayang, diyakini erat kaitannya dengan dikeramatkannya sapi oleh pemeluk agama Hindu saat itu. Sehingga akhirnya, dipilihlah kayu jati sebagai bhan dasar wayang.

Peran sentral jenis kesenian ini ada pada sang dalang. Dan di Wonosoco, untuk belajar dalang tidak dilakukan secara khusus. Mereka yang berminat biasanya mengikuti sang dalang dan akan memperhatikan gerak-gerik sang dalang saat manggung. Hanya itu prosesnya, selebihnya lebih banyak dilakukan sambil jalan dan dibutuhkan keingin-tahuan dari calon dalang.

Satu kelompok kesenian wayang klitik biasanya berjumlah 18 orang, yang dipimpin langsung oleh sang dalang dengan dibantu asistennya. Sisanya adalah 2 orang pesinden dan para penabuh gamelan.

Sepintas orang akan mengira, bentuk dan cerita wayang klitik mirip dengan kesenian wayang kulit yang lebih dulu popular di tanah Jawa. Namun nyatanya berbeda.

Isi cerita wayang klitik berkisar pada babad tanah Jawa atau cerita rakyat mengenai legenda tanah Jawa, semisal Panji Semirang. Sementara pada kesenian wayang kulit yang diangkat adalah cerita Ramayana dan Mahabharata.

Wayang klitik di Wonosoco tetap bertahan, hanya karena keinginan masyarakatnya menjaga kesenian khas mereka. Wayang klitiklah yang kerap tampil di keramaian yang diselenggarakan di sini. Wayang klitik akan terus ada meski hanya sebegitu saja.


Selengkapnya...

Rabu, 24 Juni 2009

Hadits Pada Masa Tabiin dan Tabi’ Tabiin

Hadits Pada Masa Tabiin dan Tabi’ Tabiin

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama hijrah, yakni tahun 99 hijrah datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadits. Umar bin Abdul Azis seorang khalifah dari Bani Umayyah terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima.

Beliau sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadits dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadits dari para perawinya, mungkin hadits-hadits itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghafalnya. Maka tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan hadits-hadits Nabi dari para penghafal yang masih hidup. Pada tahun 100 H Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan hadits-hadits Nabi yang terdapat pada para penghafal.



Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang Artinya: “Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasul lalu tulislah. karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadits Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan. “

Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadits. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan perinea khalifah tersebut. Dan Az-Zuhri itulah yang merupakan salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadits.

Dari Syihab Az-Zuhri ini (15-124 H) kemudian dikembangkan oleh ulama-ulama berikutnya, yang di samping pembukuan hadits sekaligus dilakukan usaha menyeleksi hadits-hadits yang maqbul dan mardud dengan menggunakan metode sanad dan isnad.

Metode sanad dan isnad ialah metode yang digunakan untuk menguji sumber-sumber pembawa berita hadits (perawi) dengan mengetahui keadaan para perawi, riwayat hidupnya, kapan dan di mana ia hidup, kawan semasa, bagaimana daya tangkap dan ingatannya dan sebagainya. Ilmu tersebut dibahas dalam ilmu yang dinamakan ilmu hadits Dirayah, yang kemudian terkenal dengan ilmu Mustalahul hadits.

Setelah generasi Az-Zuhri, kemudian pembukuan hadits dilanjutkan oleh Ibn Juraij (w. 150 H), Ar-Rabi’ bin Shabih (w. 160 H) dan masih banyak lagi ulama-ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa pembukuan hadits dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempuma. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II H. dilakukan upaya penyempunaan. Mulai waktu itu kelihatan gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuan dan penulisan hadits-hadits Rasul SAW. Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang sampai kepada kita, antara lain AI-Muwatha‘ oleh imam Malik (w 179 H), AI Musnad oleh Imam Asy-Syafi’l (w 204 H).

Pembukuan hadits itu kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh Imam-lmam ahli hadits, seperti Bukhari, Muslim, Turmuzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan lain-lain

Dari mereka itu, kita kenal Kutubus Sittah (kitab-kitab) enam yaitu:

Sahih AI-Bukhari (w 256H),

Sahih Muslim (w 261H),

Abu Dawud (w 275H),

At-Turmuzi (w 267H),

Sunan An-Nasai (w 303H), dan

Ibnu Majah (w 273H).

Tidak sedikit pada “masa berikutnya dari para ulama yang menaruh perhatian besar kepada Kutubus sittah tersebut beserta kitab Muwatta dengan cara mensyarahinya dan memberi catatan kaki, meringkas atau meneliti sanad dan matan-matannya
Selengkapnya...

Selasa, 23 Juni 2009

Sejarah pembukuan Al Hadits

Masa Pembentukan Al Hadist
Berita tentang prilaku Nabi Muhammad (sabda, perbuatan, sikap ) didapat dari seorang sahabat atau lebih yang kebetulan hadir atau menyaksikan saat itu, berita itu kemudian disampaikan kepada sahabat yang lain yang kebetulan sedang tidak hadir atau tidak menyaksikan. Kemudian berita itu disampaikan kepada murid-muridnya yang disebut tabi'in (satu generasi dibawah sahabat) . Berita itu kemudian disampaikan lagi ke murid-murid dari generasi selanjutnya lagi yaitu para tabi'ut tabi'in dan seterusnya hingga sampai kepada pembuku hadist (mudawwin).

Pada masa Sang Nabi masih hidup, Hadits belum ditulis dan berada dalam benak atau hapalan para sahabat. Para sahabat belum merasa ada urgensi untuk melakukan penulisan mengingat Nabi masih mudah dihubungi untuk dimintai keterangan-keterangan tentang segala sesuatu.

Diantara sahabat tidak semua bergaulnya dengan Nabi. Ada yang sering menyertai, ada yang beberapa kali saja bertemu Nabi. Oleh sebab itu Al Hadits yang dimiliki sahabat itu tidak selalu sama banyaknya ataupun macamnya. Demikian pula ketelitiannya. Namun demikian diantara para sahabat itu sering bertukar berita (Hadist) sehingga prilaku Nabi Muhammad banyak yang diteladani, ditaati dan diamalkan sahabat bahkan umat Islam pada umumnya pada waktu Nabi Muhammad masih hidup.

Dengan demikian pelaksanaan Al Hadist dikalangan umat Islam saat itu selalu berada dalam kendali dan pengawasan Nabi Muhammad baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya para sahabat tidak mudah berbuat kesalahan yang berlarut-larut. Al Hadist yang telah diamalkan/ditaati oleh umat Islam dimasa Nabi Muhammad hidup ini oleh ahli Hadist disebut sebagai Sunnah Muttaba'ah Ma'rufah. Itulah setinggi-tinggi kekuatan kebenaran Al Hadist.

Meski pada masa itu Al Hadist berada pada ingatan para sahabat, namun ada sahabat yang menuliskannya untuk kepentingan catatan pribadinya (bukan untuk kepentingan umum). Diantaranya ialah :

1. 'Abdullah bin 'Umar bin 'Ash (dalam himpunan As Shadiqah)
2. 'Ali bin Abi Thalib (dalam shahifahnya mengenai huku-hukum diyat yaitu soal denda atau ganti rugi).


Masa Penggalian
Setelah Nabi Muhammad wafat (tahun 11 H / 632 M) pada awalnya tidak menimbulkan masalah mengenai Al Hadits karena sahabat besar masih cukup jumlahnya dan seakan-akan menggantikan peran Nabi sebagai tempat bertanya saat timbul masalah yang memerlukan pemecahan, baik mengenai Al Hadist ataupun Al Quran. Dan diantara mereka masih sering bertemu untuk berbagai keperluan.

Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13 - 23 H atau 634 - 644 M) wilayah dakwah Islamiyah dan daulah Islamiyah mulai meluas hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul masalah-masalah baru khususnya pada daerah-daerah baru sehingga makin banyak jumlah dan macam masalah yang memerlukan pemecahannya. Meski para sahabat tempat tinggalnya mulai tersebar dan jumlahnya mulai berkurang, namun kebutuhan untuk memecahkan berbagai masalah baru tersebut terus mendorong para sahabat makin saling bertemu bertukar Al Hadist.

Kemudian para sahabat kecil mulai mengambil alih tugas penggalian Al Hadits dari sumbernya ialah para sahabat besar. Kehadiran seorang sahabat besar selalu menjadi pusat perhatian para sahabat kecil terutama para tabi'in. Meski memerlukan perjalanan jauh tidak segan-segan para tabi'in ini berusaha menemui seorang sahabat yang memiliki Al Hadist yang sangat diperlukannya. Maka para tabi'in mulai banyak memiliki Al Hadist yang diterima atau digalinya dari sumbernya yaitu para sahabat. Meski begitu, sekaligus sebagai catatan pada masa itu adalah Al Hadist belum ditulis apalagi dibukukan

Musibah besar menimpa umat Islam pada masa awal Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Musibah itu berupa permusuhan diantara sebagian umat Islam yang meminta korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Pihak-pihak yang bermusuhan itu semula hanya memperebutkan kedudukan kekhalifahan kemudian bergeser kepada bidang Syari'at dan Aqidah dengan membuat Al Hadist Maudlu' (palsu) yang jumlah dan macamnya tidak tanggung-tanggung guna mengesahkan atau membenarkan dan menguatkan keinginan / perjuangan mereka yang saling bermusuhan itu. Untungnya mereka tidak mungkin memalsukan Al Quran, karena selain sudah didiwankan (dibukukan) tidak sedikit yang telah hafal. Hanya saja mereka yang bermusuhan itu memberikan tafsir-tafsir Al Quran belaka untuk memenuhi keinginan atau pahamnya.

Keadaan menjadi semakin memprihatinkan dengan terbunuhnya Khalifah Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala (tahun 61 H / 681 M). Para sahabat kecil yang masih hidup dan terutama para tabi'in mengingat kondisi demikian itu lantas mengambil sikap tidak mau lagi menerima Al Hadist baru, yaitu yang sebelumnya tidak mereka miliki. Kalaupun menerima, para shabat kecil dan tabi'in ini sangat berhat-hati sekali. Diteliti dengan secermat-cermatnya mengenai siapa yang menjadi sumber dan siapa yang membawakannya. Sebab mereka ini tahu benar siapa-siapa yang melibatkan diri atau terlibat dalam persengketaan dan permusuhan masa itu. Mereka tahu benar keadaan pribadi-pribadi sumber / pemberita Al Hadist. Misal apakah seorang yang pelupa atau tidak, masih kanak-kanak atau telah udzur, benar atau tidaknya sumber dan pemberitaan suatu Al Hadist dan sebagainya. Pengetahuan yang demikian itu diwariskan kepada murid-muridnya ialah para tabi'ut tabi'in.

Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99 - 101 H / 717 - 720 M) termasuk angkatan tabi'in yang memiliki jasa yang besar dalam penghimpunan Al Hadist. Para kepala daerah diperintahkannya untuk menghimpun Al Hadist dari para tabi'in yang terkenal memiliki banyak Al Hadist. Seorang tabi'in yang terkemuka saat itu yakni Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin Syihab Az Zuhri (tahun 51 - 124 H / 671 - 742 M) diperintahkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Untuk itu beliau Az Zuhri menggunakan semboyannya yang terkenal yaitu al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya : Sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang apa saja).

Az Zuhri melaksanakan perintah itu dengan kecermatan yang setinggi-tingginya, ditentukannya mana yang Maqbul dan mana yang Mardud. Para ahli Al Hadits menyatakan bahwa Az Zuhri telah menyelamatkan 90 Al Hadits yang tidak sempat diriwayatkan oleh rawi-rawi yang lain.

Di tempat lain pada masa ini muncul juga penghimpun Al Hadist yang antara lain :

* di Mekkah - Ibnu Juraid (tahun 80 - 150 H / 699 - 767 M)
* di Madinah - Ibnu Ishaq (wafat tahun 150 H / 767 M)
* di Madinah - Sa'id bin 'Arubah (wafat tahun 156 H / 773 M)
* di Madinah - Malik bin Anas (tahun 93 - 179 H / 712 - 798 M)
* di Madinah - Rabi'in bin Shabih (wafat tahun 160 H / 777 M)
* di Yaman - Ma'mar Al Ardi (wafat tahun 152 H / 768 M)
* di Syam - Abu 'Amar Al Auzai (tahun 88 - 157 H / 707 - 773 M)
* di Kufah - Sufyan Ats Tsauri (wafat tahun 161 H / 778 M)
* di Bashrah - Hammad bin Salamah (wafat tahun 167 H / 773 M)
* di Khurasan - 'Abdullah bin Mubarrak (tahun 117 - 181 H / 735 - 798 M)
* di Wasith (Irak) - Hasyim (tahun 95 - 153 H / 713 - 770 M)
* - Jarir bin 'Abdullah Hamid (tahun 110 - 188 H / 728 - 804 M)

Yang perlu menjadi catatan atas keberhasilan masa penghimpunan Al Hadist dalam kitab-kitab di masa Abad II Hijriyah ini, adalah bahwa Al Hadist tersebut belum dipisahkan mana yang Marfu', mana yang Mauquf dan mana yang Maqthu'.

Masa Pendiwanan dan Penyusunan
Usaha pendiwanan (yaitu pembukuan, pelakunya ialah pembuku Al Hadits disebut pendiwan) dan penyusunan Al Hadits dilaksanakan pada masa abad ke 3 H. Langkah utama dalam masa ini diawali dengan pengelompokan Al Hadits. Pengelompokan dilakukan dengan memisahkan mana Al Hadits yang marfu', mauquf dan maqtu'. Al Hadits marfu' ialah Al Hadits yang berisi perilaku Nabi Muhammad, Al Hadits mauquf ialah Al Hadits yang berisi perilaku sahabat dan Al Hadits maqthu' ialah Al Hadits yang berisi perilaku tabi'in. Pengelompokan tersebut diantaranya dilakukan oleh :

* Ahmad bin Hambal
* 'Abdullan bin Musa Al 'Abasi Al Kufi
* Musaddad Al Bashri
* Nu'am bin Hammad Al Khuza'i
* 'Utsman bin Abi Syu'bah

Yang paling mendapat perhatian paling besar dari ulama-ulama sesudahnya adalah Musnadul Kabir karya Ahmad bin Hambal (164-241 H / 780-855 M) yang berisi 40.000 Al Hadits, 10.000 diantaranya berulang-ulang. Menurut ahlinya sekiranya Musnadul Kabir ini tetap sebanyak yang disusun Ahmad sendiri maka tidak ada hadist yang mardud (tertolak). Mengingat musnad ini selanjutnya ditambah-tambah oleh anak Ahmad sendiri yang bernama 'Abdullah dan Abu Bakr Qathi'i sehingga tidak sedikit termuat dengan yang dla'if dan 4 hadist maudlu'.

Adapun pendiwanan Al Hadits dilaksanakan dengan penelitian sanad dan rawi-rawinya. Ulama terkenal yang mempelopori usaha ini adalah :

Ishaq bin Rahawaih bin Mukhlad Al Handhali At Tamimi Al Marwazi (161-238 H / 780-855 M)

Ia adalah salah satu guru Ahmad bin Hambal, Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, An Nasai.

Usaha Ishaq ini selain dilanjutkan juga ditingkatkan oleh Bukhari, kemudian diteruskan oleh muridnya yaitu Muslim. Akhirnya ulama-ulama sesudahnya meneruskan usaha tersebut sehingga pendiwanan kitab Al Hadits terwujud dalam kitab Al Jami'ush Shahih Bukhari, Al Jamush Shahih Muslim As Sunan Ibnu Majah dan seterusnya sebagaimana terdapat dalam daftar kitab masa abad 3 hijriyah.

Yang perlu menjadi catatan pada masa ini (abad 3 H) ialah telah diusahakannya untuk memisahkan Al Hadits yang shahih dari Al Hadits yang tidak shahih sehingga tersusun 3 macam Al Hadits, yaitu :

* Kitab Shahih - (Shahih Bukhari, Shahih Muslim) - berisi Al Hadits yang shahih saja
* Kitab Sunan - (Ibnu Majah, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, Ad Damiri) - menurut sebagian ulama selain Sunan Ibnu Majah berisi Al Hadit shahih dan Al Hadits dla'if yang tidak munkar.
* Kitab Musnad - (Abu Ya'la, Al Hmaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) - berisi berbagai macam Al Hadits tanpa penelitian dan penyaringan. Oleh seab itu hanya berguna bagi para ahli Al Hadits untuk bahan perbandingan.

Apa yang telah dilakukan oleh para ahli Al Hadits abad 3 Hijriyah tidak banyak yang mengeluarkan atau menggali Al Hadits dari sumbernya seperti halnya ahli Al Hadits pada adab 2 Hijriyah. Ahli Al Hadits abad 3 umumnya melakukan tashhih (koreksi atau verifikasi) saja atas Al Hadits yang telah ada disamping juga menghafalkannya. Sedangkan pada masa abad 4 hijriyah dapat dikatakan masa penyelesaian pembinaan Al Hadist. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab Al Hadits, menghimpun yang terserakan dan memudahkan mempelajarinya.


Selengkapnya...

HADIS PADA MASA RASUL

Muqaddimah
Tidak dapat disangkal lagi bahwa kegiatan tulis menulis dan juga kegiatan pendidikan di dunia Islam telah berlangsung sejak zaman Nabi SAW masih hidup. Ini dapat dilihat dengan adanya bukti-bukti bahwa ketika nabi masih hidup, para sahabat banyak yang mencatat hal-hal yang diimlakan beliau kepada mereka. Ada juga sejumalah sahabat yang menyimpan surat-surat nabi atau salinannya. Hudzaifah r.a. menutukan bahwa Nabi meminta dituliskan nam orang-orang yang masuk Islam, maka Hudzaifah menuliskannya sebanyak 1500 orang. Selain itu ada juga aturan registrasi nama orang-orang yang mengikuti perang.

Bahkan seperampat abad sesudah Nabi wafat, di Madinah sudah terdapat gudang kertas yang berhimpitan dengan rumah Utsman bin Affan. Dan menjelang akhir abad pertama pemerintah pusat membagi-bagi kertas kepada para gubernur.

Rasulullah SAW yang menjadi kepala negara Madinah semenjak tahun pertama Hijriyah hidup di tengah-tengah masyarakat sahabat, para sahabat bisa bertemu dengan beliau secara langsung tanpa adanya birokrasi yang rumit seperti sekarang ini. Rasulullah SAW bergaul dengan mereka di masjid , di pasar, ruma dan dalam perjalanan.


Segala ucapan perbuatan dan kelakuan Rasulullah SAW-yang kita kenal sabagai hadits – akan menjadi ushwah bagi para sahabat r.a. dan mereka akan berlomba-lomba mewujudkannya dalam kehidupan mereka. Tidak dapat kita sangkal bahwa tidak semua sahabat mendengar satu hadis secara bersamaan, sehingga ada sahabat yang menuliskan hadits dalam shahifah agar tidak tercecer, seperti shahifah Abdullah bin Amru bin Ash.

Bagaimana hal ini bisa terjadi sementara hadits dari Abu Said al Khudri meyebutkan

عنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَكْتُبُوا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ …

”Jangan kalian tulis apa yang kalian dengar dariku, barangsiapa yang menuliskan selain dari al-Qur’an, hendaklah dihapus”.(H.R. Muslim)

Dan ternyata setelah Rasulullah SAW meninggal dunia sahifah-sahifah berisi hadits-hadits Rasullah SAW seperti sahifah Sa’ad Ibnu Abu Ubadah, Sahifah Jabir Ibn Abdullah, Samurah Ibn Jundab dan yang lainnya . Bahkan Muhammad Mustafa Azami PhD menulis dalam tesis doktoralnya yang berjudul Studies in Early Hadits Literature bahwa sejak awal pertama hijriyah buku-buku kecil berisi hadits telah beredar .

Walaupun ada sahifah-sahifah berisi hadits-hadits Rasulullah SAW, kodifikasi hadits ini tidak dilakukan secara formal seperti halnya al-Qur’an sampai abad pertama Hijriyah berlalu, padahal bisa saja para sahabat mengumpulkan hadits-hadits shahih dan mensarikannya dalam sebuah kitab. pengarang fajrul Islam memberi komentar

Mungkin hal itu juga terpikirkan oleh sebagian mereka, tetapi pelaksanaannya amat sukar. Sebab mereka tahu sewaktu Nabi SAW wafat jumlah sahabat yag mendengarkan dan meriwatkan dari beliau 114.000 orang. Setiap orang masing-masing mempunya satu, dua hadits seringkali nabi mengatakan sebuah hadits di hadapan segolongan sahabat yang tidak didengar oleh golongan lain .

Adapun dalam perkembangan penulisan hadits telah dicoba mengelompokkannya kedalam beberpa periode, seperti yang dirumuskan oleh M Hasbi Asyiddiqi yang membagi kedalam beberaa periode pada masa Nabi dan sahabat, yaitu pada abad pertama, M Hasbi Asyiddiqi membagi menjadi tiga periode .

1. Periode Pertama (Masa Rasulullah SAW)

Pada periode pertama para sahabat langsung mendengarkan dari Rasulullah SAW atau dari sahabat lain, karena para sahabat tersebar di penjuru negri, ada yang di Dusun, dan ada yang di kota. Adakalanya diterangkan oleh istri-istri rasul seperti dalam masalah kewanitaan dan rasulullah SAW juga memerintahkan para sahabat untuk menghapal dan menyebarkan hadits-haditsnya diantara sabda beliau yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim

”Dan ceritakanlah dariadaku, tidak ada keberatan bagimu untuk menceritakan apa yang kamu dengar daripadaku. Barang siapa yang berdusta terhadap diriku, hendaklah ia bersedia menempati kedudukannya di neraka.”

Perlu diketahui bahwa dalam menyampaikan hadits dilakukan dengan dua cara :
a. Dengan lafadz asli, yakni menurut laafadz yang mereka dengar dari rasulullah Saw.
b. Dengan makna saja, yakni hadits tersebut disampaikan dengan mengemukakan makna saja, tidak menurut lafadz seperti yang diucapkan Nabi.

Kecuali itu, pada masa Rasulullah SAW sudah ada catatan hadits-hadits beliau seperti Abdullah bin Amru, dan pernah suatu waktu Rasulullah SAW berkhutbah, setelah seorang dari yaman datang dan berkata. ”Ya Rasulullah tuliskanlah untukku”,tulislah Abu Syah ini.”

Kembali kepada pelarangan Rasulullah SAW dalam penulisan hadits. Tujuan Rasulullah adalah agar al-Qur’an tidak bercampur dengan apapun, termasuk erkataan beliau sendiri. Ketika menemukan ternyata ada sahifah-sahifah berisi hadits pada masa Rasulullah SAW kita tidak akan berani mengatakan bahwa para sahabat menghiraukan perintah Rasulullah SAW. Setelah diteliti ternyata ada hadits yang menyatakan bolehnya penulisan hadits, seperti sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan Abu Daud;

اكْتُبْ فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنُ فمى إِلاَّ حَقٌّ

”Tulislah, maka jiwaku yang berada ditangan-Nya tidaklah keluar dari mulutku kecuali kebenaran”

Hadits ini terlihat kontradiktif dengan hadits sebelumnya, berikut ini adalah pendapat para ulama untk mengkomromikan kedua hadits ini;
  1. Bahwa larangan menulis hadits itu, telah dimansukh oleh hadits yang memerintahkan menulis
  2. Bahwa larangan itu bersifat umum, sedang untuk beberapa sahabat khusus diizinkan
  3. Bahwa larangan menulis hadits ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan mencampur adukannya denga al-Qur’an, sedangkan keizinan menulis ditujukan kepada mereka yang dijamin tidak akan mencampuradukannya.
  4. Bahwa larangan itu dalam bentuk kodifikasi secara formal seperti mushaf al-Qur’an, sedang untuk diakai sendiri tidak dilaarang.
  5. Bahwa larangan itu berlaku pada saat wahyu-wahyu yang turun belum dihafal dan dicatat oleh para sahabat, setelah dihafal dan dicatat, menulis hadits diizinkan.

2. Periode Kedua (Masa Khalifah Rasyidah)

Pada masa erintahan Abu Bakar r.a. dan Umar r.a., pengembangan hadits tidak begitu pesat, hal ini disebabkan kebijakan kedua khalifah ini dalam masalah hadits, mereka menginstruksikan agar berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Bahkan khalifah Uimar r.a dengan tegas melarang memperbanyak periwayatan hadits. Hal ini dimaksudkan agar al-Qur’an terpelihara kemudiannya dan ummat Islam memfokuskan dirinya dalam pengkajian al-Qur’an dan penyebarannya.

Hakim meriwayatkan; pernah suatu malam Abu Bakar r.a merasa bimbang sekali, pagi harinya ia memanggil putrinya Aisya r.a dan meminta kumpulan hadits yang ada padanya lalu Abu Bakar membakarnya.

Lain halnya ada masa khalifah Utsman dan Ali r.a, mereka sedikit memberi kelonggaran dalam mengembangkan hadits tetapi mereka masih sangat berhati-hati agar tidak bercampur dengan al-Qur’an, Khalifash Ali r.a, melarang penulisan selain al-Qur’an yang sesungguhnya ditujukan untuk orang-orang awam, karena beliau sendiri memiliki sahiofah yang berisi kumpulan hadits.

3. Periode Ketiga ( Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar)

Setelah berakhirnya masa pemerintahan Ali r.a, ummat Islam dilanda fitna besar, dimana mereka terpecah menjadi 3 golongan; Golongan pendukung Ali (syi’ah), golongan pendukung Muawiyah dan golongan Khawarij.

Dalam perkembangannya golongan-golongan ini mulai memalsukan hadits dengan tujuan membenarkan golongan mereka dan menjatuhkan golongan lain. Hal ini mendorong para sahabat dan tabi’in lebih berhati-hati dalam meriwatkan dan mengumpulkan hadits. Tapi walau bagaimanapun belum ada kodifikasi secara formal.

Abad pertama seluruhnya mencakup masa sahabat, sebab sahabat-sahabat yang banyak meriwayatkan hadits meninggal pada abad pertama Hijriyah ini, walaupun ada yang meninggal sesudah itu. Tidak dipungkiri bahwa pada abad pertama penulisan hadits yang dilakukan oleh tabi’in juga sudah ada. Oleh karena itu perlu dipisahkan antara hadits-hadits yang di tulis oleh para Sahabat dan hadits-hadits yang ditulis oleh Tabi’in. Dalam pembahasan ini akan dikhususkan pada tulisan para Sahabat.

Disini akan dituliskan nama-nama sahabat, serta kegiatan mereka berkenaan dengan penulisan hadits, serta tahun mereka lahir dan kapan wafatnya. Hal ini penting kita ketahui dalam pembahasan sejarah penulisan hadits.

1. Abu umamah al-Bahili
Nama aslinya Shudai bin ’Ajlan, RA (10 SH – 81 H). Beliau termasuk yang berpendapat membolehkan penulisan hadits. Hadits-hadits beliau ditulis oleh al-Qasim al-Syami.
2. Abu Ayyub al-Ansari
Nama aslinya Khalid bin Zaid, RA. (w. 52 H) beliau menulis beberapa hadits Nabi dan dikirimkan kepada kemanakannya, seperti yang dituturkan dalam kitab Musnad Imam Ahmad . Cucu beliau, yaitu Ayyub bin Khalid bin Ayyub al-Ansari juga meriwayatkan 112 hadits. Yang biasanya hadits yang banyak semacam ini dalam lembaran-lembaran(shahifah).
3. Abu Bakar al-Siddiq, RA. ( 50 SH – 13 H)
Dalam suratnya kepada Anas bin Malik, gubernur Bahrain, Abu Bakar mencantumkan beberapa hadits tentang wajibnya membayar zakat bagi orang-orang Islam . Abu bakar juga berkirim surat kepada ’Amr bin al-’Ash, dimana dalam surat itu dicantumkan beberapa hadits Nabi .
4. Abu Bakrah al-Tsaqafi
Nama sebenarnya Nufa’i bin Masruh (w. 51 H). Beliau menulis surat kepada anaknya yang menjadi hakim di Sijistan, dimana beliau mencantumkan beberapa hadits berkaitan dengan peradilan .

5. Abu Rafi, Mantan Sahaya nabi SAW.
Beliau wafat sebelum tahun 40 H. Abu Bakr bin Abd Rahman mengatakan, ia diberi kitab oleh Abu Rafi’ yang berisi hadits-hadits tentang pembukaan shalat . Hadits-hadits dari Abu Rafi’ ditulis oleh Abdullah bin ’Abbas; seperti yang dituturkan Salma, ia melihat Abdullah bin Abbas membawa papan-papan untuk menulis hadits-hadits amaliah Nabi dari Abu Rafi’ .
6. Abu Sa’id al-Khudri
Nama aslinya Sa’ad bin malik, RA, (w. 74 H). Beliau dekenal sebagai orang yang melarang murid-muridnya untuk menulis hadit-hadits daripadanya. Tetapi beliau menulis hadits untuk dirinya sendiri, sebagaimana dikutip al-Khatib al-Bagdadi dalam kitab Taqyyid al-’Ilm bahwa belai berkata ”Saya tidak menulis apapun selain al-Qur’an dan tasyahhud .
7. Abu Syah, orang dari Yaman
Ketika Rasulullah SAW menaklukkan kota Makkah, beliau berpidato, lalu Abu Syah memohon kepada Rasulullah agar isi pidato itu dituliskan untuknya. Maka Rasulullah bersabda, ”Tuliskanlah untuk Abu Syah…” .
8. Abu Musa al-Asy’ari
Nama aslinya Abdullah bin Qais, RA (w. 42 H). Konon beliau menentang penulisan hadits Nabi. Tetapi beliau menulis surat kepada Abdullah bin Abbas dengan mencantumkan beberapa hadits nabi .
9. Abu Hurairah, RA (19 SH – 59 H)
Belaiu adalah tokoh orang-orang yang hafal hadits. Pada awalnya Abu hurairah tidak memiliki kitab hadits, tetapi pada masa-masa belakangan beliau menuturkan bahwa beliau mempunyai kitab-kitab hadits, seperti dalam kisah yang diriwayatkan oleh Fadlbin ’Amr bin Umayyah al-Dlamri .
10. Abu Hind al-Dari, RA
Hadits-haditsnya ditulis oleh Ma,khul .
11. Ubai bin Ka’ab bin Qais al-Anshari, RA (w. 22 H)
Beliau adalah tokoh sahabat ahli qira’at. Hadits-hadits beliau ditulis oleh Abu al-’Aliyah Rufai’ bin Mahran dalam sebuah naskah (buku) besar. Hadits-haditsnya menyangkut masaalah penafsiran al-Qur’an .
12. Asma binti ’Umais, RA (w. Sesudah 40 H)
Semula beliau adalah istri Ja’far bin Abu Thalib, lalu menikah dengan Abu bakar, kemudian dengan Ali bin Abi Thalib. Dan dari ketiga suami tersebut beliau melahirkan putra-putra. Beliau nenyimpan sahifah yang berisi hadits-hadits Nabi .

13. Usaid bin Hudhari al-Ansari, RA
Beliau wafat pada masa Khalifah Marwan bin al-Hakam. Beliau menulis hadits-hadits Nabi, keputusan-keputusan hukum yang yang ditetapkan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman. Tulisan beliau itu dikirimkannya keada Marwan .

14. Anas bin Malik, RA. (10 SH – 93 H)
Beliau adalah seorang imam, pembantu Nabi dan ahli hadits, sangat pandai menulis. Dalam beberapa riwayat bahwa Anas bin Malik mempunyai banyak kitab. Abu Hubairah berkata, ”Apabila Anas bin Malik hendak mengajarkan haditsnya dan ternyata jumlah muridnya banyak sekali, beliau membawakan kitab-kitabnya, kemudian berkata ”ini adalah hadits-hadits yang saya dengar dari rasulullah SAW, saya menulisnya dari beliau dan kemudian saya perlihatkan kembali kepada beliau .
15. al-Bara’ bin Azib, RA. (w. 72 H)
Murid-murid beliau menulis hadits di hadaan beliau. Seperti keterangan Waki’, ia diberitahu Ayahnya, dari Abdullah bin Hansy, katanya: “Saya melihat para murid itu menulis dengan kayu dan alas tas-tas yang biasa ditaruh di punggung hewan di kediaman al-Bara” .
16. Jabir bin Samurah, RA. (w. 74 H)
Beliau menulis hadits kemudian mengirimkannya kepada ’Amir bin Saad. Kata Amir bin Sa’ad, ”Saya menulis surat kepada Jabir dibawah oleh budakkuyang bernama Nafi’, agar saya diberitahu hal-hal yang ppernah didengarnya dari Rasulullah. Maka Jabir membalas suratku seraya menyebutkan Hadits-hadits Nabi” .
17. Jabir bin Abdillah bin Amr bin Haram, RA. (16 Sh – 78 H)
Beliau adalah sahabat yang wafat paling akhir di Madinah, disamping sebagai penulis buku pada masa-masa awal. Beliau mempunyai kitab tentang masalah haji yang kemudian ditulis kembali oleh Imam Muslim .
18. Jarir bin Abdullah al-Bajali, RA. (w. 54 H)
Beliau menulis hadits dan mengirimkannya akepada Mu’awiyah. Seperti yang dituturkan oleh Abu Ishaq bahwa Jarir bin Abdullah termasuk rombongan yang dikirim ke Amernia. Mereka ditimpa kekurangan pangan. Lalu Jarir menulis surat kepada Mu’awiyah dimana disebutkan, ”Saya mendengar rasulullah bersabda, ”Barang siapa tidak kasih sayang kepada sesama manusia, maka Allah tidak akan mengasihinya” .
19. Hasan bin Ali, RA. (3 – 50 H)
Beliau pernah beresan keada orang-orang yang tidak kuat hafalannya agar menulis hadits. Beliau juga menyimpan fatwa-fatwa Ali yang terhimpun dalam satu sahifah .
20. Rafi’ bin Khadij al-Ansari, RA ( 12 H – 74 H)
Beliau menyimpan hadits-hadits Nabi yang tertulis di atas kulit .
21. Zaid bin Arqom (w. 66 H)
Beliau menulis hadits dan mengirimkannya kepada Anas bin Malik. Dalam surat itu Zaid mengatakan, ”saya akan menyampaikan kabar yang menggembirakan dari Allah untukmu.yaitu saya mendengar Rasulullah SAW berdo’a,”wahai Allah, ampunilah dosa orang – orang anshor dan anak-anaknya” .
22. Zaid bin Tsabit Al- Anshori, RA (w 45 H )
Beliau ahli qira’at dan menjadi sekertaris Nabi. Zaid terbukti menulis Hadits-hadits Nabi, sebagaimana beliau menulis juga menulis pendapat-pendapatnya sendiri misalnya dalam masalah kakek ( dalam hukum waris ), Zaid menulis hal itu kepada Umar bin Khatthab atas permintaan Umar. Tulisan Zaid itu termasuk buku yang pertama kali ditulis dalam masalah faraid .
23. Subai’ah al-Aslamiyah
Beliau adalah istri Sa’ad bin Kaulah. Meriwayatkan hadits dari nabi SAW. Beliau juga menuliskan hadit untuk para Tabi’in.
24. Sa’ad bin Ubadah al-Anshari, Sayyid al-Khazraj, RA. (w. 15 H)
Sejak masa Jahiliyah beliau sudah aktif menulis. Beliau juga memiliki kitab-kitab yang kemudian diriwayatkan oleh beberaa anggota keluarganya. Bahwa didalam kitab-kitab Sa’ad bin Ubadah terdapat keterangan bahwa Raslullah SAW mengadili perkara dengan sumpah ditambah saksi .
25. Salman al-Farisi, RA (w. 32 H)
Beliau menuliskan hadits-hadits Nabi untuk Abu Darda .
26. al-Sa’ib bin Yazid, RA (2 – 92 H)
salah seorang murid beliau, yaitu Yahya bin Sa’id menulis sejumlah hadits yang berasal dari beliau, dan dikirimkannya kepada Ibn Lahi’ah. Ibn Lahi’ah sendiri menuturkan bahwa Yahya bin Sa’id mendengar sendiri hadiots-hadits itu dari al-Sa’ib bin Yazid .
27. Samurah bin Jundub, RA (w. 59 H)
Beliau menghiompun hadits-hadits Nabi dalam bentk buku. Beliau juga menulis hadits kepada putranya damana dicantumkan banyak hadits-hadits Nabi.
28. Sahl bin Sa’ad al-Sa’idi al-Anshari, RA (9 SH – 91 H)
Hadits-hadits beliau diriwayatkan oleh putranya Abbas, al-Zuhri, dan Abu Hazim bin Dinar. Abu Hazim mengumpulkan hadits-hadits Sahl bin Sa’ad al-Sai’i, kemudian putranya Abu Hazim meriwayatkan hadits-hadits itu
29. Syaddad bin Aus bin Tsabit al-Anshari, RA. (17 SH-58 H)
Beliau adalah ahli fiqih, Saddad bin Aus mengimlakan haditsnya kepada sejumlah pemuda. Beliau berkata ”Saya akan memberitahu tentang hadits yang diajarkan Nabi SAW kepada kita untuk waktu beergian dan di rumah. Lalu beliau mengimlakannya.
30. Syamghun al-Anshari, Abu Raihana, RA.
Beliau termasuk tokoh penduduk Damaskus, dan orang pertama yang melipat sahifah yang lebar untuk menulis hadits mudraj dan maqlub. Urwah al-â’ma, hamba sahaya bani Sa’ad, menuturkan, pada waktu Abu Raihana naik perahu, beliau membawa sahifah-sahifah hadits.
31. al-Dhahhak bin Sufyan al-Kilabi, RA.
Rasulullah SAW mengirimkan surat kepada al-Dhahhak dan memerintahkan agar istri Asyim al-Dhababi diberi warisan dari diyat(denda pembunuhan) suaminya. Kemudian al-Dhahhak menulis surat keada Umar bin Khattab, menerangkan hadits tersebut.
32. al-Dhahhak bin Qais al-Kilabi, RA. (wafat terbunuh tahun 64 H atau 65 H)
Beliau menulis surat untuk Qais bin Haitsman seraya menyebutkan beberapa hadits Nabi.
33. Umm al-Mu’minin ’Aisyah binti Abu Bakar al-Siddiq, RA. (w. 58 H)
Beliau adalah wanita yang sangat cerdas sangat paham al-Qur’an sunnah dan perkara agama lainnya. Beliau bersama Rasulullah sejak umur 9 tahun sehingga beliau banyak meriwayatkan hadits yang jumlahnya mencapai 2210 buah hadits. Beliau pandai membaca dan sering menerima surat dari orang-orang yang menanyakan sutu masalah dalam agama.
34. ’Abdullah bin Abu Aufa, RA. (w. 86 H)
Beliau adalah Sahabat Nabi yang wafat aling akhir di Kufa. Ada beberapa murid beliau yang menuliskan hadits dari beliau ataupun ada yang memintakan agar dituliskan hadits.
35. ’Abdullah bin al-Zubair, RA. (2 – 73 H)
Beliau menulis surat kepada salah seorang hakimnya yang bernama Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, seraya mencantumkan sebuah hadits Nabi.
36. ’Abdullah bin ’Abbas, RA. (3 SH – 68 H)
Beliau sangat alim, sampai disebut tintanya ummat islam. beliau menulis hadits-hadits Nabi dan terkadang menyuruh hamba-hambanya untuk menulis hadits.
37. ’Abdullah bin ’Umar bin al-Khattab, RA(10 SH – 74 H)
Beliau adalah alim, dan selalu melakukan hal-hal yang dilakukan Rasulullah baik hal yang kecil maupun yang besar. Dalam surat-suratnya beliau menulis hadits-hadits Nabi. Beliau juga memiliki buku-buku hadits serta mempunyai naskah kitab sadaqah milik Umar bin Khattab, yang ternya itu adalah naskah kitab sadaqah Nabi SAW.

38. ‘Abdullah bin ’Amr bin al-Ash, RA. (27 SH – 63 H)
Beliau banyak menuliskan hadit-hadits Nabi, mengimlakan haditsnya kepada muridnya. Dan menulis sebuah sahifah tentang maghazi (kisah peperangan Nabi SAW.
39. ‘Abdullah bin Mas’ud al Hadzali, (w.32 H)
Beliau ahli fiqih yang ulung, diutus ke Kufah sebagai guru dan wazir. Beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa beliau menulis hadits adalah Juwaibir dari al-Dhahhak dari Abdullah bin mas’ud, katanya “Ketika Nabi masih hidup, saya tidak menulis hadits kecuali hadits tentang tasyahhud dan istikharah. Dan juga diriwayatkan bahwa Abd Rahman bin Abdullah bin Mas’ud pernah memerlihatkan sahifah dan ia bersumpah bahwa sahifah itu tulisan tangan ayahnya.
40. ‘Utban bin Malik al-Anshari, RA. (wafat pada masa Mu’awiyah RA)
Beliau dipersaudarakan dengan Umar bin Khattab. Anas bin Malik pernah menyuruh putranya agar menulis hadits yang diriwayatkan Utban bin Malik.
41. ’Ali bin Abi thalib, RA. (23 SH – 40 H)
Beliau adalah hakimnya ummat Islam, termasuk salah seorang sekertaris Nabi. Beliau memiliki sahifah yang disebutkan dalam banyak sumber. Serta sangat menganjurkan murid-muridnya untuk menulis hadits Nabi.
42. Umar bin Khattab, RA. (40 SH – 23 H)
Beliau adalah wazir Nabi SAW. Menulis hadits-hadits Nabi dalam surat-surat resmi. Abu Ubaidah bin Jarrah juga menulis surat untukUmar, lalu Umar menjawab, dengan mencantumkan beberaa hadits Nabi. Umar juga mengelompokkan hadits-hadits yang khusus membahas Zakat dalam suatu surat.
43. Amr bin Hamz al-Anshari, RA (wafat sesudah 50 H)
Beliau ditugaskan oleh Nabi untuk menjadi kepala daerah Najran. Nabi SAW juga mengirimkan surat kepadanya dimana Nabi SAW menuliskan hadits-haditsnya.kemudian Amr bin Hazm membukukan surat-surat Nabi. Buku ini kemudian diriwayatkan oleh putranya. Dan sekarang buku ini dicetak bersama dengan buku ‘î’lam al Sailin ‘an kutub sayyid al-mursalin’ karangan Ibn Tulun.
44. Fatimah al-Zahra binti Rasulllah SAW (w. 11 H)
Beliau menyiman sahifah yang berisi wasiat beliau sendiri. Dalam wasiat itu terdaat juga hadits-hadits Nabi SAW.
45. Fatimah binti Qais, RA
Beberapa hadits beliau ditulis oleh Abu Salamah.
46. Muhammad bin Maslamah al-Anshari, RA 31 SH – 46 H)
Setelah beliau wafat, di dalam sarung pedangnya ditemukan sebuah sahifah yang berisi hadits-hadits Rasulullah SAW.
47. Mu’adz bin Jabal, RA (20 SH – 18 H)
Beliau diutus oleh Rasulullah ke Yaman dan dikirimi surat oleh rasulullah yang berisi hadits-hadits tentang zakat. Yang kemudian menjadi kitab Mu’adz (yang berisi surat-surat Nabi SAW).
48. Mu’awiyah bin Abu Sufyan, RA (w. 66 H)
Beliau termasuk sekertaris Nabi. Dan dari Nabi pula beliau belajar membuat titik huruf. Beliau pernah menulis surat kepada Ummul Mukminin Aisya agar dituliskan hadits-hadits yang didengarnya dari Rasulullah. Beliau juga pernah berkirim surat kepada Marwan dimana disebutkan beberapa hadits Nabi SAW.
49. al-Mughirah bin Su’bah (w. 55 H)
Warrad, sekertaris al-Mughira mengatakan bahwa ia menuliskan surat al-Mughirah yang mendiktekannya dan dikirim kepada Mu’awiyah, dalam surat tersebut terdapat hadits Nabi SAW.
50. Ummul Mukminin Maimunah binti Harits al-Hilaliyah, RA (w. 51 H)
Beliau dinikahi oleh Rasulullah pada tahun 7 H. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh eks hamba-hambanya.
51. Nu’man bin Basyir al-Anshari, RA (2 – 65 H)
Beliau menjadi walikota Hamsh di Syam. Ada tiga orang yang menyimpan tulisan hadits beliau, yaitu: Qais bin al-Haitsam, al-Dahhak bin Qais, Habib bin Salim.
52. Watsilah bin al-Asqa’, RA (22 SH – 83 H)
Beliau mengimlakan hadits kepada murid-muridnya. Seerti yang dikatakan oleh Ma’ruf al-Khayyat, beliau melihat Watsilah mendektekan hadits Nabi dihadapan murid-muiridnya.

Penutup
Sebagai kesimpulan bahwa adanya larangan untuk menulis hadits pada masa wahyu masih turun, adalah merupakan sikap kehati-hatian Rasulullah dalam menjaga kemurnian al-qur’an yang diikuti oleh para Khalifa Rasyidah dengan memberikan batasan secara ketat dalam penulisan hadits. Sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang diperbolehkan menulis hadits. Itupun dalam rang memenuhi kebutuhan ummat akan suatu permasalah agama yang belum diketahui. Sehingga kita dapat melihat kegiatan tulis-menulis hadits lebih pada surat kepada Sahabat yang lain. Ataupun hadits-hadits Nabi ditulis sebagai koleksi pribadi Sahabat.

Akhirnya kita memohon dan berdo’a kepada Allah agar kita senantiasa dapat mengikuti sunnah-sunnah Rasul-Nya dan Menyebarkannya. Allahumma Amin.

Daftar Pustaka

1. Muhammad Mustafa Azami, Studes in Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustafa Ya’qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000
2. Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, Bandung: Dipenegoro, 2007.
3. Rosnawati Ali, Pengantar Ilmu Hadits, Kualalumpur: Ilham Abati Enterprise, 1997.
4. Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadits, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.
5. Ahmad Amin, Fajrul Islam, Terj. Zaini Dahlan, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
6. M. Hasby Ash Shiddeqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta, 1998.
7. Bukhari, Shahih Bukhari
Selengkapnya...

Memberikan Pendidikan yang Tepat Bagi Anak

B A B I
PENDAHULUAN
Di era globalisasi yang pesat ini, dunia pendidikan pun juga turut serta dalam proses tersebut. Berbagai konsep ditawarkan, berbagai kurikulum disusun (kurikulum 1994, kurikulum KBK, kurikulum KTSP). Ini semua diciptakan berorientasi pada output pendidikan yang baik sesuai dengan yang diharapkan. Namun output semacam apa yang didambakan ? Hal inilah yang sering kali menjadi samar bagi pendidik dikarenakan adanya perubahan kurikulum yang sering kali terjadi, di tengah-tengah proses pembelajaran sedang berlangsung.





Pada akhirnya dikhawatirkan juga pendidik sendiri akan kurang maksimal dalam mengaplikasikan kurikulum-kurikulum tersebut. Dan kami rasa para pakar pendidikan pun akan sulit menentukan salah satu kurikulum yang paling edeal untuk negara kita yang memiliki berbagai macam adat buudaya, tingkat sosial ekonomi yang beragam dan letak teritorial anak didik (wilayah pegununganm, wilayah pesisir, wilayah terpencil, wilayah perkotaan). Akhirnya penulispun mencermati dan mengamati betapa pendidikan sekarang tidak berimbang. Yang memiliki tingkat ekonomi tinggi (hight class) mereka mampu memberikan tempat pendidikan bagi anaknya yang lebih dari layak untuk ukuran anak SD. Namun coba kita lihat di daerah yang agak pinggir, betapa susahnya merengkuh yang namanya pendidikan. Kalaupun mereka dapatkan pendidikan mungkin tidak selayak anak-anak yang mendapat pendidikan di perkotaan.

Di kota-kota mulai menjamur pendidikan yang mereka sbut plus. Mereka menawarkan berbagai hal, dengan full fasilitas, full time, plus full pembiayaan. Inilah yang dianggap terbaik, terfaforit dan terlayak bagi putra-putri mereka. Walaupun termahal di kota itu. Bagi orang tua yang memiliki strata ekonomi tingkat atas, hampir pasti menempatkan putra-putrinya di sana. Tanpa menilik seluruh aspek kelayakan sebuah lembaga pendidikan bagi anak-anak. Bahkan terkadang orang tualah yang berambisi menempatkan putra-putrinya di sana tanpa memperhatikan kondisi si anak.

Anak adalah asset yang paling berharga bagi orang tua, masyarakat dan negara. Mereka adalah calon-calon pemimpin bangsa. Untuk itulah kita memang harus memberikan yang terbaik buat mereka.

Namun perlu diingat, terbaik buat kita, belum tentu terbaik bagi anak. Karenanya kita harus berhati-hati dan cermat dalam menentukan tempat pembelajaran bagi anak. Karena pendidikan merupakah bekal kehidupan kelak bagi mereka dikemudian hari.

B A B II
PERMASALAHAN DAN PEBAHASAN MASALAH
A. PERMASALAHAN
Begitu kompleknya masalah anak dan masalah dunia pendidikan. Dunia anak dan dunia pendidikan merupakan dua hal sangat terkait erat . Dan bila kita berada pada dua dunia tersebut hidup ini akan terasa menyenangkan, mengasyikkan dan hidup ini lebih berarti karena kita para pendidik bisa mentransfer didikan kepribadian, didikan kebudayaan dan didikan kemasyarakatan (Triwyata) bagi mereka. Karena luasnya masalah tentang dunia pendidikan, maka di sini akan kami tuangkan beberapa masalah pendidikan, antara lain :
1. Kapan pendidikan diberikan ?
2. Di mana anak di tempatkan untuk memperoleh pendidikan pra sekolah dan pendidikan formal yang layak buat anak ?
3. Bagaimana mendampingi anak dalam masa pembelajaran (PAUD, TK, SD)

B. PEMBAHASAN MASALAH
Dari ketiga permasalahan tersebut, marilah kita bahas satu demi satu permasalahan itu.

1. KAPAN PENDIDIKAN ANAK DIBERIKAN ?

1.1. Pendidikan diberikan mulai dalam kandungan.
a. Pendidikan pada anak diberikan mulai saat dia masih ada dalam kandungan, saat dia masih berbentuk janin. Karena walaupun dalam kandungan janin mampu menyerap apa yang dirasakan oleh sang ibunya. Karena talenta bayi masih menyatu dengan ibu. Di mana dalam Al Qur’an telah difirmankan, bahwa di saat janin berusia 40 hari telah ditiupkan roh di dalamnya.
b. Berikan pendengaran musik-musik klasik di saat ibu mengandung.
c. Sering kali si calon bayi diajak membaca ayat-ayat suci Al Qur’an (sebagai pelaku adalah ibu).
d. Tanamkan amalan-amalan atau tingkah laku yang baik bagi calon bayi kita. Sebagai tauladan adalah sikap ibu.
Itulah sedikit cara yang dapat diperbuat oleh orang tua untuk memberikan pendidikan anak sejak dalam kandungan. Sebenarnya masih banyak lagi yang dapat diperbuat oleh orang tua agar calon anak kita bisa menjadi insan yang berbudi mulai dan berakal cerdas.
1.2. Pendidikan diberikan pada usia 0 tahun sampai 3 tahun pertama.
1.2.1. Di saat-saat usia inilah pembentukan kepribadian, emosi, intelijensi dan spiritual untuk anak diberikan. Walaupun mereka tidak paham betul makna dari suatu pendidikan. Pada usia-usia ini perkembangan sel-sel saraf otak berkembang dengan pesat. Sel-sel saraf ini harus rutin distimulasi dan didaya-gunakan supaya terus berkembang jumlahnya./ Stimulasi yang diberikan ibarat pahatan yang bekerja membentuk sel-sel otak sehingga otak dapat berkembang dengan baik.
Anak yang dibesarkan dalam lingkungan nyang minim stimulasi berkurang kecerdasannya. Pengalaman yang tidak menyenangkan akan membekas selama dan cukup memberi efek mengubah komposisi sel di dalam otak.
1.2.2. Otak manusia terdiri dari dua belahan kiri dan kanan yang tersambung oleh serabut. Keduanya harus memiliki fungsi, tugas dan respons berbeda yang harus tumbuh dalam keseimbangan.
a. Otak kiri.
Berfungsi untuk berfikir rasional, analitis, berurutan, limier, sainstifik seperti membaca, bahasa dan berhitung.
b. Otak kanan.
Berfungsi untuk mengembangkan imajinasi dan kreatifitas (bermusik, bernyanyi, menari, mencipta).
1.2.3. Perkembangan otak tidak berjalan secara linier, namun semua bagian dapat distimulasi pada saat bersamaan.
Gardner menemukan bahwa otak manusia memiliki beberapa jenis kecerdasan, yakni :
a. Bahasa :
Kemampuan untuk membaca, menulis dan berkomunikasi
b. Logis, matematis :
Kemampuan untuk berfikir logis, sistimatis dan berhitung.
c. Visual, spasial :
Kemampuan untuk berfikir melalui gambar, memvisualisasi hasil masa depan, mengimaginasikan dengan penglihatan.
d. Musikal :
Kemampuan untuk mengkomposisikan musik, menyanyi, memiliki kepekaan untuk iraman.
e. Kinestik badan :
Kemampuan untuk menggunakan tubuh secara trampil.
f. Interpersonal social :
Kemampuan untuk bekerja secara efektif dengan orang lain.
Memiliki empati dan pengertian
g. Interpersenal :
Kemampuan untuk analisa diri dan refleksi.
h. Natural :
Kemampuan mengenal kembali flora dan fauna serta mencintai alam.
Secara alamiah perkembangan anak berbeda-beda. Baik dalam intelegensi, bakat, minat, kreatifitas, kematangan emosi, kepribadian, keadaan jasmani dan keadaan sosialnya. Namun penelitian tentang otak menunjukkan bahwa bila anak distimulasi sejak dini maka akan ditemukan genius (potensi paling baik dan unggul) dalam dirinya. Setiap anak memiliki kemampuan tak terbatas dalam belajar yang telah ada di dirinya ubntuk dapat berfikir kreatif dan produktif.
Oleh karena itu anak memerlukan program pendidikan yang mampu membuka kapasitas tersembunyi tersebut melalui pembelajaran bermakna sejak awal.
1.3. Pendidikan Pra Sekolah dan Pendidikanb Sekolah.
Di sinilah anak mengalami penggodokan sebagai kawah candra dimuka bagi mereka. Sebagaimana yang telah dicanangkan oleh pemerintah mengenai pendidikan dasar 9 tahun.
Mulai dari jenjang dasar (SD) yang harus ditempuh minimal selama 6 tahun, yang akan dilanjutkan pada jenjang berikutnya yakni sekolah menengah (SMP) yang harus ditempuh selama 3 tahun.

Sebelum melalui pendidikan formal tersebut ada dua jenjang pendidikan pra sekolah yang hendaknya juga dapat ternikmati oleh anak didik, yakni PAUD dan TK.
Di sini perlu diingat bahwa pendidikan pra sekolah bukan pendidikan formal. Di sana mereka belajar sambil bermain dan bukan ditekankan pada baca-tulis dan hitung. Namun kini pola terserbut saat ini nampaknya telah bergeser, di mana anak-anak telah kehilangan masa anak-anaknya. Mereka telah terprogram dengan berbagai les (baca-tulis-hitung) pembelajaran yang full day tanpa mempertimbangkan kebutuhan batiniah mereka. Di sinilah peran orang tua sangat dibutuhkan dalam menentukan / memilih kawah candra dimuka yang tepat bagi putra-putri mereka.

1.4. Pendidikan seumur hidup (long live education).
Pada dasarnya kita mencari ilmu untuk bekal kehidupan dunia dan akhirat. Dan mencari ilmu itu adalah wajib serta tiada batasanya. Selama hayat masih di kandung badan pendidikan akan berlangsung terus-menerus tiada terputus (long live education). Bahkan dalam kitab sucipun telah tertulis ”Carilah ilmu walau sampai ke negeri china” di sini termaktup bawasannya mencari ilmu itu sepanjang masa, tiada batasnya, baik waktu, umur maupun jarak.

2. DI MANA ANAK DITEMPATKAN UNTUK MEMPEROLEH PENDIDIKAN FORMAL YANG LAYAK ?
Di saat usia anak telah memasuki usia pendidikan formal inilah orang tua harus mampu menyeleksi lembaga pendidikan yang baik bagi putra-putrinya. Hendaklah tidak hanya melihat bagus fasilitasnya saja tetapi dilihat dari berbagai aspek. Walaupun program bagus, fasilitas memadai namun bila tidak dimanagemeni dengan baik dan tidak dimotori oleh tenaga-tenaga edukasi yang berdedikasi serta profesional, maka sekolah tersebut bukanlah sekolah yang baik.
Berikut ini kami sajikan beberapa hal sebagai pertimbangan dalam menentukan sekolah yang baik bagi anak kita.

2.1. Melihat kondisi anak kita baik fisik maupun mental.
Orang tua harus memahami betul kondisi putra-putrinya, dalam kondisi normal atau cacat baik secara fisik maupun mentalnya. Bila si anak mengalami cacat fisik maka tempatkan mereka pada lembaga pendidikan khusus anak cacat. Dan jangan memaksanakan diri anak dimasukkan dalam pendidikan yang formal secara umum. Demikian juga apabila putra-putrinya memiliki kondisi mental yang kurang bagus (ideot) hendaklah dimasukkan dalam sekolah khusus (SLB).

2.2. Tujuan, arah atau harapan yang hendak diinginkan oleh orang tua bagi putra-putrinya.
2.3. Waktu pembelajaran.
Orang tua harus memperhatikan lamanya jam belajar di sekolah tersebut. Hal ini harus disesuaikan dengan usia atau tingkat perkembangan anak. Bila terlalu lama waktu belajarnya anak akan terasa lelah baik secara fisik maupun mental.

2.4. Muatan materi.
Materi yang ditawarkan oleh sekolah juga harus kita cermati. Hendaklah kita memilih program atau materi yang sesuai dengan usia perkembangan mereka.

2.5. Fasilitas penunjang.
Fasiulita-fasilitas pendidikan sangat dibutuhkan oleh anak maupun guru guna menggali potensi-potensi mereka. Fasiltas ini juga harus disesuaikan dengan program atau materi pembelajaran serta jenjang pendidikan anak/.

2.6. Dibimbing oleh guru-guru yang berdedikasi dan profesional.
Dewasa ini banyak lembaga pendidikan yang memiliki pembimbing (guru) yang tidak memiliki dasar kependidikan. Walaupun mereka mampu mengajar tetapi hasilnya jelas berbeda dengan anak yang dibimbing oleh seorang guru yang benar-benar memiliki dasar kependidikan.

2.7. Dimanagemeni dengan profesional.
Sekolah yang memiliki fasilitas baik, memiliki program yang baik, memiliki tenaga-tenaga pendidikan yang baik TETAPI tidak dimanagemeni dengan baik semua fasilita, program dan tenaga-tenaga pendidikan yang baik itu tidak akan dapat berfungsi dengan baik sehingga output pendidikanpun tidak baik.

3. BAGAIMANA MENDAMPINGI ANAK DALAM MASA PEMBELAJARAN ?
Anak adalah tanggung jawab orang tua dan anak adalah amanah dari Alloh. Oleh karena itu tidaklah cukup bila pendidikan anak diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Peran orang tua tetap utama. Hendaklah orang tua selalu di sisi anak. Baik di saat suka maupun duka. Cobalah bisa menbjadi orang tua sekaligus guru bagi mereka. Orang tua sebagai teman bagi anak dimana setiap saat bisa diajak bermain, bercanda dan bertanya. Orang tua juga harus mampu untuk menjadi sahabat bagi sang buah hati. Di mana orang tua selalu membuka hati untuk menerima keluhan dan curahan anak.
Orang-orang yang sukses adalah mereka yang di masa kanak-kanaknya selalu didampingi orang tua dengan balutan kasih sayang dan pujian BUKAN makian dan hinaan.

B A B III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari permasalahan yang telah disajikan dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal di antaranya :
1. Pendidikan dimulai sejak anak dalam kandungan.
2. Pendidikan yang paling menentukan adalah di saat anak berusia 0 sampai 3 tahun.
3. Pendidikan adalah tanggung jawab orang tua, masyarakat dan bangsa.
4. Hendahnya orang tua menentukan secara tepat tempat pendidikan bagi anaknya.

B. SARAN
Dari pembahasan yang telah disajikan di atas, ada beberapa saran yang dapat kami berikan kepada pembaca, antara lain :
1. Mengoptimalkan pendidikan saat anak dalam kandungan.
2. Janganlah melewatkan usia-usia yang tepat untuk mengembangkan seluruh jaringan otak anak agar berkembang secara maksimal dan ada keseimbangan perkembangan otak kanan dan otak kiri.
3. Hendaklah memilih sekolah yang baik bagi anak bukan baik untuk orang tua.
4. Sekolah mahal belum tentu baik.
5. Orang tua hendaknya turut serta dalam pengembangan pendidikan melalui lembaga sekolah.


P E N U T U P
Demikian yang dapat kami sampaikan terkait dengan dunia anak dan dunia dan dunia pendidikan. Dua dunia yang saling terkait dan yang menyenangkan. Diharapkan dengan adanya makalah ini kita sebagai orang tua dan pendidik tetap berorientasi pada perkembangan anak.
Perlu kita ingat anak adalah tanggung jawab orang tua, masyarakat dan bangsa. Anak adalah amanah dari Alloh, yang kelak di kemudian hari sebagai orang tua akan dimintai tanggung jawab mereka terhadap putra-putrinya. Sudah diberikan kepadanya pendidikan yang baik sebagai bekal kehidupan bagi anak baiuk di dunia maupun di akhirat. Bila kita salah mendidiknya sesallah yang kita dapatkan nantinya.
Harapan kami semoga secuil tulisan ini bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan arah dan penempatan pendidikan bagi anak yang tepat.
Selengkapnya...

-

SEPUTAR INDONESIA

SEPUTAR JAWA TIMUR

SEPUTAR PONOROGO

-

KOMENTAR

LINK

LINK 1
LINK 2
LINK 3
LINK 4
LINK 5

Pengunjung

Counters

SHOUTBOX

 
Contoh 1 © 2008 All right reserved │ Design By R - CHAM