Jumat, 26 Juni 2009

2. Seni Karawitan

2. Seni Karawitan
Fungsi karawitan dalam pertunjukan wayang untuk mendukung suasana dalam suatu adegan. Berbagai referensi menunjukan bahwa semula karawitan pakeliran, hanya menggunakan seperangkat gamelan wayang (gadon plus) laras slendro dan tanpa sindhen . Dalam perjalanannya, secara bertahap semakin bertambah mulai dari kehadiran sindhen hingga mencapai wujudnya seperti sekarang ini. Awalnya (secara fisik) tambahan instrumen ke dalam perangkat gamelan, masih terbatas pada pemanfaatkan laras pelog dan jumlah seperti: penambahan bonang barung, bonang penerus, jumlah saron, demung, laras kempul dan kenong.
Seiring dengan perkembangan budaya, teknologi dan dinamika sosial masyarakat muncul berbagai alternatif bentuk pertunjukan wayang seperti: format pakeliran dua kelir, pakeliran padat, pakeliran kolosal, serta format pertunjukan wayang plus lawak dan penyanyi. Munculnya berbagai alternatif pertunjukan wayang itu memiliki dampak yang besar terhadap garap karawitannya, sehingga untuk memenuhi kebutuhan ungkap musikal yang semakin beragam, beberapa instrumen non gamelan dihadirkan seperti: tambur, cymbal, organ, biola, terompet, drum, bedug, terbang, ansambel musik dan sebagainya. Dalam konteks yang demikian, jika dilihat dari sisi sarana ungkap musikal telah terjadi penambahan instrumen secara spektakuler. Hampir seluruh pertunjukan wayang sekarang menggunakan salah satu instrumen tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perangkat gamelan yang digunakan dalam pertunjukan wayang sekarang diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Perangkat gamelan slendro dan pelog,
2. Perangkat gamelan slendro dan pelog ditambah instrumen non gamelan yang tidak bernada, dan
3. Perangkat gamelan slendro dan pelog ditambah instrumen non gamelan yang bernada diatonis dan instrumen non gamelan yang tidak bernada.
Secara garis besar gendhing dalam pertunjukan wayang dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok, yaitu: gendhing petalon, gendhing yang digunakan untuk keperluan mendukung suasana bangunan lakon yang dikelirkan sejak jejer samapai tancep kayon, dan gendhing-gendhing yang ditampilkan pada saat adegan limbukan dan gara-gara (gendhing selingan).
Dalam realitas pertunjukan wayang sekarang menggunakan format gendhing patalon tradisi hasil warisan dari para generasi sebelumnya. Format gendhing patalon tradisi adalah rangkaian dari beberapa bentuk gendhing yang secara musikal menyiratkan berbagai kesan rasa. Tujuan dari penyajian gendhing patalon ini untuk keperluan mengundang penonton dan sebagai wahana penjelajahan rasa musikal yang sekaligus dimanfaatkan untuk membangun suasana wayangan.
Dalam pertumbuhan dan perkembangan pertunjukan wayang sekarang, terdapat fenomena baru dalam mensikapi gendhing yang digunakan untuk keperluan pakelirannya. Banyak gendhing-gendhing konvensional yang dirasakan telah memiliki kemantapan rasa dan jumbuh dengan keperluan adegan tidak lagi digunakan pada sebagian besar pertunjukan wayang sekarang. Terdapat kecenderungan mengganti gendhing-gendhing konvensional dengan gendhing “yasan” baru pada adegan-adegan tertentu. Gendhing-gendhing “yasan” baru tersebut banyak diterapkan pada adegan: jejer, kapalan, bedhol jejer pertama, menjelang pocapan gara-gara, dan kadang pada adegan khusus yang dirasa perlu mendapat perhatian secara khusus pula.
Sebagian besar gendhing yasan’kreasi’ baru memiliki warna dan kesan musikal yang berbeda dengan gendhing-gendhing yang biasa digunakan sebelumnya. Perbedan ini desebabkan oleh beberapa faktor, yakni kompositoris, orkestrasi dan instrumentasi, stressing garap, dan sebagainya. Gendhing-gendhing wayang konvensional memiliki aturan-aturan bentuk yang baku, serta memberdayakan seluruh instrumen yang ada (kecuali sampak). Ricikan garap diberi ruang gerak yang leluasa, dan vokal bersama hanya disajikan pada bagian tertentu, serta senantiasa memiliki kualitas yang halus, mengalir, dan tidak nyeklek. Sementara gendhing yasan’kreasi’ baru, bentuk kadang dibuat tidak seketat menuruti konvensi yang ada. Sebagian besar diwarnai garap vokal bersama atau teknik koor, dan kadang memasukan teknik canonik, serta memaksimalkan garap baluangan. Dengan warna garap yang demikian peran pengrawit balungan mennjadi dominan dan secara musikal lebih berkesan ramai, semuwa, dan kadang meledak-ledak.
Pagelaran wayang sekarang banyak yang menggunakan gendhing pokok secara campuran. Maksudnya adalah memadukan antara gendhing-gendhing wayang yang telah ada dan gendhing-gendhing “yasan” baru. Gendhing-gendhing yang sudah ada (baku), dimanfaatkan untuk keperluan jejer, sedangkan gendhing “yasan” baru digunakan untuk keperluan bedhol jejer, kapalan, dan menjelang pocapan gara-gara (apabila menggunakan adegan gara-gara).
Sekarang ini gendhing-gendhing limbukan dan gara-gara dalam pertunjukan wayang menghadirkan gendhing/lagon dari berbagai aliran jenis musik, serta lagu dari daerah lain yang baru laris di pasaran. Selain itu juga ditampilkan lagu-lagu lama dalam format garap yang baru. Ketika kehidupan campursari merebak dan digemari oleh masyarakat, peluang ini ditangkap oleh sebagian besar dalang (terutama dalang muda) untuk dimasukkan dalam pertunjukannya. Hal ini dibarengi dengan penyediaan sebagian instrumen yang berorientasi pada tangga nada diatonik seperti: organ, biola, bass gitar elektrik, dan gitar rithym. Bahkan terdapat pertunjukan wayang yang melibatkan ansambel musik secara komplit, sehingga dalam sebuah pertunjukan terdapat multi ensambel. Kehadiran instrumen itu dalam perkembangannya tidak hanya secara khusus digunakan untuk keperluan penyajian lagu-lagu dangdut, keroncong, dan pop.
Di sisi lain terdapat fenomena upaya untuk menyisipkan lagu yang bernuansa agama. Lagu-lagu yang bermuatan ajaran moral ini semula hanya dilakukan oleh dalang tertentu, sekarang mulai diikuti oleh dalang-dalang yang lain. Lagu-lagu semacam ini juga mulai mendapat tempat di hati penonton. Dari aspek musikal biasanya lagu itu diaransir menggunakan instrumen-instrumen simbol keagamaan seperti terbang, rebana, dengan penonjolan garap rithme , vokal, dan dinamiknya. Kehadiran berbagai instrumen musik tersebut diupayakan untuk dipadu dengan gamelan. Langkah semacam ini diartikan sebagai langkah memadukan tangga nada pentatonik dan diatonik.




2 komentar:

Anonim mengatakan...

acak2kan bgt, males bacanya... dikit rapihin ya,,,

Anonim mengatakan...

jaraknya dijauhin, belum aja baca udah males ..

Posting Komentar

-

SEPUTAR INDONESIA

SEPUTAR JAWA TIMUR

SEPUTAR PONOROGO

-

KOMENTAR

LINK

LINK 1
LINK 2
LINK 3
LINK 4
LINK 5

Pengunjung

Counters

SHOUTBOX

 
Contoh 1 © 2008 All right reserved │ Design By R - CHAM